Sabtu, 05 Mei 2018

Penyebab Tunarungu



            Berdasarkan saat terjadinya ketunarunguan dapat terjadi pada saat sebelum lahir (prenatal), saat dilahirkan/kelahiran (natal), dan sesudah dilahirkan (post natal). Banyak juga para ahli yang mengungkapkan tentang penyebab ketunarunguan dengan sudut pandang yang berbeda. Berikut ini faktor-faktor penyebab ketunarunguan di kelompokkan sebagai berikut:

    Faktor Dari Dalam Diri Anak
Ada beberapa hak yang bisa menyebabkan ketunarunguan yang berasal dari dalam diri anak antara lain :
a.    Faktor keturunan dari salah satu atau kedua orang tua anak tersebut yang mengalami ketunarunguan. Banyak kondisi genetik yang berbeda yang dapat menyebabkan ketunarunguan. Transmisi yang disebabkan gen yang dominan resesif dan berhubungan dengan jenis kelamin.
b.    Ibu yang sedang mengandung menderita penyakit Campak Jerman (Rubella) pada masa kandungan tiga bulan pertama, akan berpengaruh buruk pada janin. Hardy (1968), dalam Permanarian Somad dan Tati Hernawati (1996:33),melaporkan 199 anak  yang ibunya terkena virus Rubella ketika mengandung anaknya selama masa tahun 1964 sampai 1965,50%  dari anak-anak tersebut mengalami kelainan pendengaran. Rubella yang diderita ibu saat hamil merupakan faktor penyebab yang paling umum dikenal sebagai penyebab ketunarunguan.
c.  Ibu yang sedang hamil mengalami keracunan darah (Toxaminia). Hal ini biasa menyebabkan kerusakan pada plasenta yang mempengaruhi pertumbuhan janin. Jika hal tersebut menyerang syaraf atau alat-alat pendengaran, maka anak tersebut akan dilahirkan dalam keadaan tunarungu.

2.      Faktor Dari Luar Diri Anak
a.     Anak mengalami infeksi pada saat dilahairkan
Contoh dari anak yanh terkena infeksi adalah anak yang terserang Herves Implex, jika infeksi ini menyerang alat kelamin ibu, dapat menular pada anak pada saat dilahirkan. Demikian juga denang penyakit kelamin yang lain dapat ditularkan  melalui terusan jika virusnya masih dalam keadaan aktif. Penyakit-penyakit yang ditularkan oleh ibu kepada anaknya yang dilahirkan, dapat menimbulkan infeksi yang dapat menyebabkan kerusakan pada alat-alat atau syaraf pendengaran sehingga menimbulkan ketunarungan.
b.    Meninghitis atau Radang Selaput Otak
Hasil dari penelitian dari vermon (1968), Ries (1973), Permanarian Somad ketunarunguan yang disebabkan meninghitis masing-masing Vermon sebanyak 8,1%, Ries sebanyak 4,9% dan Trybus sebanyak 7,3%
c.     Otitis Media atau Radang Telinga Bagian Tengah
Otitis media adalah radang pada telinga bagian tengah, sehingga menimbulkan nanah yang mengumpulkan dan mengganggu hantaran bunyi. Jika kondisi tersebut sudah kronis dan tidak segara diobati, dapat mengakibatkan kehiilangan pendengaran yang tergolong ringan sampai sedang. Otitis media adalah salah satu penyakit yang sering terjadi masa anak-anak sebelum usia mencapai 6 tahun. Oleh sebab itu anak-anak secara berkala harus mendapat pemeriksaan dan pengobatan yang teliti sebelum memasuki sekolah, karena dimungkinkan menderita otitis media yang dapat menyebabkan ketunarunguan. Ketunarungan yang disebabkan otitis media adalah tunarungu tipe konduktif. Otitis media biasanya terjadi karena penyakit pernapasan yang berat sehingga dapat menyebabkan hilangnya pendengaran. Otitis media juga dapat ditimbulkan karena infeksi pernapasan dari pilek dan penyakit campak.
d. Penyakit lain atau kecelakaan yang dapat mengakibatkan kerusakan alat-alat pendengaran bagian tengah dan dalam.

1.     Faktor Penyebab Saat Sebelum Kelahiran (Pre Natal)
Ada banyak faktor kondisi pada masa kehamilan yang membawa pengaruh pada kondisi bayi setelah dilahirkan. Penyebab tuna rungu yang paling dominan pada masa sebelum kelahiran adalah adanya faktor keturunan yaitu gen yang diturunkan dari orang tua kepada anak. Faktor kedua adalah kondisi keracunan kehamilan yang diakibatkan karena ibu terlalu banyak mengkonsumsi obat-obatan pada masa kehamilan. Dan yang ketiga adalah adanya penyakit yang menyerang ibu pada 3 bulan pertama saat kehamilan yang merupakan masa pembentukan organ telinga. Penyakit paling dominan yang menjadi penyebab tuna rungu adalah yang disebabkan oleh virus morbili dan rubella.
2.     Faktor penyebab selama proses kelahiran (Natal)
Faktor yang paling berpengaruh pada kondisi tuna rungu selama proses kelahiran adalah kondisi premature. Prematuritas merupakan kondisi yang rawan karena banyak dari organ pada janin belum berkembang dengan sempurna termasuk pada organ pendengaran. Kondisi kedua yang mempengaruhi proses kelahiran adalah penggunaan vacuum/penyedot untuk membantu persalinan yang sulit. Penggunaan alat dengan mekanisme japitan yang kuat beresiko mengakibatkan kerusakan pada alat pendengaran.
3.     Faktor penyebab setelah kelahiran (Post natal)
Ada beberapa kondisi setelah kelahiran yang dapat menjadi penyebab kondisi tuna rungu. Yang pertama adalah penyakit meningitis yang merupakan penyakit radang pada selaput otak. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri yang menyerang telinga bagian dalam. Yang kedua adalah terjadinya infeksi pada saluran pernafasan yang mengakibatkan tidak berfungsi normalnya media penghantar suara.
Ketiga hal tersebut adalah penyebab tuna rungu secara umum. Semoga dengan mengetahui hal-hal tersebut dapat menghindarkan banyak orang dari resiko kondisi tuna rungu.

Daftar pustaka
khoiruzulfa-k5113049-plbuns13.blogspot.co.id/2013/11/faktor-faktor-penyebab-ketunaarunguan.html
 

Klasifikasi Tunarungu



Klasifikasi anak tunarungu bermacam-macam dan dapat dilihat dari beberapa sudut pandang.
Kehilangan pendengaran pada anak tunarungu dapat diklasifikasikan dari 0dB-91 dB ke atas. Setiap tingkatan kehilangan pendengaran mempunyai pada kemampuan mendengar suara atau bunyi yang berbeda-beda, sehingga mempengaruhi kemampauan komunikasi anak tunarungu. Terutama, pada kemampuan anak berbicara dengan artikulasi yang tepat dan jelas. Semakin tinggi kehilangan pendengarannya, maka semakin lemah kemampuan artikulasinya.
Klasifikasi anak tunarungu yang dikemukakan oleh Samuel A. Kirk (Permanarian Somad 1996: 29) adalah sebagai berikut :
a.  0 dB : menunjukkan pendengaran optimal.
b.  0-26 dB : menunjukkan masih mempunyai pendengaran normal.
c. 27-40 dB : menunjukkan kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh,     membutuhkan tempat    duduk yang strategis letaknya dan memerlukan terapi  wicara (tergolong tunarungu ringan).
d. 41-55 dB : mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas,membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara (tergolong tunarungu sedang).
e. 56-70 dB : hanya bisa mendengar suara dari arak yang dekat, masih mempunyai sisa pendengaran untuk belajar bahasa ekspresif ataupun reseptif dan bicara dengan menggunakan alat bantu dengar serta dengan cara yang khusus (tergolong   tunarungu 11 agak berat).
f. 71-90 dB : hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang dianggap tuli, membutuhkan pendidikan luar biasa yang intensif, membutuhkan alat bantu mendengar (ABM) dan latihan bicara secara khusus (tergolong tunarungu berat).
g. 91 dB keatas : mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dan getaran, banyak tergantung pada penglihatan daripada pendengarannya untuk proses menerima            informasi dan yang bersangkutan dianggap tuli (tergolong tunarungu barat sekali).           
Berdasarkan tingkat kehilangan ketajaman pendengaran yang diukur dengan satuan desiBell (dB), klasifikasi anak tunarungu menurut Heri Purwanto (1998: 7) adalah seperti berikut :
a. Sangat ringan (light) 25 dB - 40 dB
b. Ringan (mild) 41 dB - 55 dB
c. Sedang (moderate) 56 dB - 70 dB
d. Berat (severe) 71 dB - 90 dB
e. Sangat berat (profound) 91 dB – lebih

a.  Berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran

1) Tunarungu ringan (Mild Hearing Impairment),
Kelainan pendengaran yang masih mampu mendengar bunyi dengan intensitas antara 20-40 dB. Biasanya kelompok ini mengalami kesulitan dalam percakapan dan sering tidak menyadari bahwa dia sedang diajak bicara.
                                           
2) Tunarungu sedang (Moderate Hearing Impairment),
   Kelainan pendengaran yang masih mendengar bunyi dengan intensitas 40-65 dB. Kelompok ini biasanya mengalami kesulitan dalam kecakapan tanpa memperhatikan wajah pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh, tetapi dapat dibantu dengan alat Bantu dengar (hearing aid).

3) Tunarungu agak berat (Severe Hearing Impairment)
   Kelainan pendengaran hanya mampu mendengar bunyi yang memiliki intensitas 56-95 dB. Kelompok ini hanya memahami sedikit percakapan pembicara apabila melihat wajah pembicara dan dengan suara keras, tetapai untuk percakapan normal, praktis mereka tidak dapat mengikuti, hanya mereka masih dapat dibantu dengan alat bantu dengar (hearing aid).

4) Ketunarunguan berat (Profound Hearing Impairment),
       Kelainan pendengaran hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas di atas 95 dB ke atas. Percakapan normal tidaklah mungkin bagi mereka, alat bantu juga kecil kemungkinan dapat membantu mereka, mereka sangat tergantung dengan komunikasi verbal atau isyarat.


b. Berdasarkan letak gangguan  pendengaran secara anatomis, terdapat tiga jenis ketunarunguan
1) Conductive loss
            Ketunarunguan tipe konduktif yaitu ketunarunguan yang     disebabkan oleh terjadinya kerusakan pada telinga bagian        luar dan tengah yang berfungsi sebagai alat konduksi menghantar getaran suara menuju telinga bagian dalam.

2) Sensorineural loss,
 Ketunarunguan yang disebabkan oleh terjadinya kerusakan pada telinga bagian dalam serta syaraf pendengaran (Nerveus Chochlearis) yang dapat mengakibatkan terhambatnya pengiriman pesan bunyi ke otak .

3) Central auditory processing disorder
    Gangguan pada ocial syaraf pusat proses pendengaran yang mengakibatkan individu mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya meskipun tidak ada gangguan yang spesifik pada telinga itu sendiri. Anak yang mengalami gangguan pusat pemprosesan pendengaran ini mungkin memiliki pendengaran yang normal bila diukur dengan audiometer, tetapi mereka sering mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya